Beberapa waktu yang lalu PAMADIKSI melalui Departemen Infokom melaksanakan kegiatan PAPERMABK2 (Pengenalan Paguyuban dan Pekan Prestasi Mahasiswa Bidikmisi KIP-K) yang salah satu rangkaianya yaitu Lomba Esai Nasional yang dimana terdiri dari babak penyisihan dan babak final dan akhirnya setelah melakukan presentasi secara online dihadapan juri, maka akhirnya diputuskanlah para pemenangnya. Untuk ini Juara 2 diraih oleh Elsi Maireski (Bismillah - Institut Pertanian Bogor) untuk hasil karyanya bisa dibaca dibawah ini.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jagung merupakan pangan pokok di Indonesia setelah beras. Jagung adalah komoditas palawija utama di Indonesia ditinjau dari aspek pengusahaan dan penggunaan hasilnya, yaitu sebagai bahan baku pangan dan pakan. Selain itu, jagung juga merupakan sumber bahan baku bagi sektor industri termasuk industri pangan. Potensi yang dimiliki jagung tidak hanya digunakan sebagai alternatif bahan pangan pokok saja, kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan bahan baku pakan. Komposisi untuk bahan baku pakan ternak unggas membutuhkan jumlah jagung sekitar 50% dari total bahan yang diperlukan (Wanto 2019). Oleh karena itu, pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi melalui perluasan lahan penanaman dan peningkatan produktivitas.
Peningkatan produktivitas jagung memang bagus jika dinilai secara umum, namun untuk para petani jagung pipil hal ini akan menjadi masalah bila pemipilan jagung dilakukan secara tradisional. Tentunya selain memerlukan banyak tenaga juga memerlukan proses waktu lebih lama. Seperti halnya yang terjadi di daerah tempat tinggal penulis, yaitu di Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat yang mayoritas bekerja sebagai petani dan juga peternak. Ketika telah memasuki musim panen, sebelum jagung dijual biasanya dijemur dan dilakukan pemipilan terlebih dahulu. Pemipilan ini merupakan proses pemisahan biji jagung dari tongkolnya yang prosesnya tidaklah mudah karena dapat menguras tenaga khususnya pada bagian jari-jari tangan. Jika dirasa tidak memiliki tenaga lagi, pasti proses ini akan dihentikan sejenak untuk beristirahat yang pada akhirnya membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Berdasarkan data dan fakta dilapangan, jagung yang dipipil secara manual dengan tenaga manusia, hasil yang didapat maksimal sebanyak 0,1 kg permenit. ni tidak sebanding antara tenaga yang dikeluarkan dengan hasil yang didapat, belum lagi pemipilan dalam waktu yang lama berakibat pada kelelahan pada manusianya (Supriadi 2018). Banyak mesin yang sudah dibuat untuk menggantikan tenaga manusia dan membantu dalam proses pemipilan jagung. Akan tetapi mahalnya harga mesin dipasaran yang tidak terjangkau oleh petani
membuat petani enggan untuk membelinya. Pada akhirnya petani masih tetap menggunakan cara manual dalam pemipilan jagung dan hal ini berdampak pada kecilnya hasil produk pemipilan yang berujung pada lambatnya penjualan hasil panen dikarenakan harus menunggu jumlah hasil pemipilan yang cukup banyak.
Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu alat pemipil jagung yang mempermudah proses pemipilan dan pemisahan biji jagung dari tongkolnya dengan memperkecil permasalahan waktu dan tenaga. Melihat fakta tersebut penulis mencoba membuat inovasi alat bantu pertanian yang mudah dibuat, tidak membutuhkan biaya besar, tetapi akan sangat membantu masyarakat. Alat yang dirancang ini menggunakan beberapa alat yang sudah tidak terpakai lagi dan merubahnya menjadi alat pemipil jagung. Inovasi alat pemipil jagung yang dibuat diberi nama “CONTHRES”, diambil dari kata Corn Threser yang artinya alat perontok jagung.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara pembuatan Conthres?
2. Bagaimana prinsip kerja pada Conthres?
3. Bagaimana efektifitas Conthres dalam membantu petani pada proses pemipilan jagung?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui cara pembuatan Conthres.
2. Mengetahui prinsip kerja Conthres.
3. Mengetahui efektifitas Conthres dalam membantu petani memecahkan permasalahan pemipilan jagung.
ISI
Jagung adalah komoditi tanaman pangan yang kedua setelah padi, karena jagung merupakan bahan pokok pengganti setelah beras. Selain bahan subtitusi beras, jagung digunakan sebagai pakan ternak dan bahan baku industri. Sehingga pemerintah selalu melakukan upaya peningkatan produksi melalui perluasan lahan penanaman dan peningkatan produktivitas. Daerah produksi jagung terdapat hampir pada semua kabupaten/kota di Sumatera Barat. Produksi jagung di Sumatera Barat lebih banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak, karena kebutuhan pakan untuk ternak lebih tinggi dibandingkan untuk pangan. Produksi jagung di Sumatera Barat pada tahun 2021 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat adalah sebanyak 948.063,16 ton dengan luas lahan panen 134.671,20 hektare (BPS Sumbar 2021). Sedangkan untuk Kabupaten Dharmasraya, produksi jagung dalam beberapa tahun terakhir adalah sebagai berikut :
Jagung merupakan tanaman dari daerah tropis dan termasuk tanaman yang dapat menyesuaikan dengan lingkungan tempat tumbuhnya. Prospek pasar jagung pipil cukup luas. Jagung menjadi salah satu bahan dasar pakan ternak yang sangat penting. Formulasi pakan unggas membutuhkan jagung dalam komposisi besar, yaitu 20% sampai 50% dari formulasi pakan. Di Indonesia, sekitar 51 persen komponen pakan adalah jagung (Swastika et al. 2011).
Setidaknya pada tahun 2019 diperlukan sebanyak 8.59 juta ton jagung untuk industri pakan, dan 2,92 juta ton untuk peternak mandiri. Kebutuhan tersebut meningkat tahun 2020 menjadi 8,5 juta ton untuk industri pakan dan 3.48 juta ton untuk peternak mandiri (Ditjen PKH 2020). Kebutuhan jagung pipil terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan dan kemajuan industri peternakan. Hal ini telah menggambarkan bahwa agribisnis jagung pipil berkembang pesat di Indonesia. Oleh karena itu perlu antisipasi efektif terkait penyediaan jagung sebagai bahan pakan. Perlu upaya peningkatan produksi melalui sumber daya manusia dan sumber daya alam, ketersediaan lahan dan potensi hasil dengan penerapan inovasi dan teknologi.
Salah satu yang menjadi masalah dalam penyediaan jagung sebagai bahan baku pakan yaitu terkait penanganan pascapanen yaitu lamanya proses pemipilan jagung, dan menjadi permasalahan yang cukup besar khususnya untuk daerah yang masih tradisional dan minim teknologi, seperti contohnya daerah Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Peningkatan produksi jagung yang tidak diikuti dengan penanganan pasca panen yang baik menyebabkan peluang kerusakan biji akibat kesalahan penanganan dapat mencapai 12-15% dari total produksi. Dari semua tahapan pasca panen, segmen pemipilan yang paling tinggi peluang kehilangan hasilnya yang mencapai 8% sehingga proses ini dianggap sebagai proses kritis dalam penanganan pascapanen (Uslianti et.al 2014). Pemipilan merupakan proses memisahkan bonggol dengan biji jagung. Proses pemipilan dilakukan dengan cara manual menggunakan tangan, sehingga memerlukan waktu yang lama. Penggunaan tangan secara manual untuk menyelesaikan proses pemipilan menyebabkan petani jagung mudah mengalami kelelahan dan keluhan tangan yang sakit.
Di Sumatera Barat, khususnya di daerah Kabupaten Dharmasraya, petani jagung skala rumahan melakukan proses pemipilan jagung secara manual atau menggunakan alat sederhana, seperti pemipilan dengan tangan tanpa alat bantu apapun, dengan alat bantu pisau atau obeng, dan juga menggunakan roda sepeda. Pemipilan dengan cara ini akan membutuhkan banyak tenaga, waktu, dan mengakibatkan kapasitas produksi yang kecil. Sejauh ini belum ada mesin yang digunakan masyarakat Kabupaten Dharmasraya untuk membantu dalam proses pemipilan jagung. Hal ini terjadi dikarenakan mahalnya harga mesin yang dijual dipasaran dan petani di Dharmasraya mayoritas minim pengetahuan dan belum mengetahui teknologi untuk pembuatan mesin pemipil jagung. Selain itu, yang menjadi alasan tidak digunakannya mesin dalam proses pemipilan jagung yaitu mesin pemipil yang ada di pasaran menggunakan bahan bakar solar, dan ada pula yang menggunakan listrik. Pemipilan dengan cara ini akan menambah biaya produksi, dan apabila cara pengoperasiannya tidak benar dan kadar air jagung yang dipipil tidak sesuai, maka akan mempengaruhi viabilitas biji jagung hasil pemipilan. Penggunaan mesin juga dapat menambah masalah baru yaitu akibat bahan bakar yang digunakan dapat menimbulkan polusi sehingga dapat mencemari lingkungan.
Melihat berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya, maka penulis terdorong untuk menghasilkan suatu inovasi yang berguna untuk meringankan beban masyarakat, khususnya para petani jagung. Penulis mempelajari permasalahan yang ada, dan mencoba mencari solusi untuk permasalahan tersebut, sehingga terealisasilah sebuah inovasi alat pemipil yang di beri nama Conthres. Kata Conthres ini merupakan singkatan dari Corn Thresser yang artinya alat perontok jagung. Conthres merupakan inovasi alat pemipil jagung yang di buat dengan memanfaatkan barang-barang bekas. Bahan-bahan yang dibutuhkan yaitu gir, rantai, kaleng bekas, kemudian di padukan dengan besi, dan dirancang sedemikian rupa sehingga bisa menjadi alat yang lebih bermanfaat untuk masyarakat. Ide pembuatan inovasi ini muncul sebagai bentuk kepekaan penulis terhadap permasalahan yang ada di lingkungan sekitar, yang mana petani jagung menghadapi kesulitan dalam proses pemipilan jagung, dan juga sekaligus dilatarbelakangi banyaknya barang-barang sisa pemakaian seperti gir, rantai, dan kaleng bekas yang pemanfaatannya kurang maksimal. Pemanfaatan barang-barang bekas sebagai bahan pembuatan Conthres ini sekaligus bertujuan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi limbah di lingkungan, sehingga barang-barang yang sebelumnya hanya berserakan dan kurang berguna bisa menjadi inovasi yang dapat memecahkan permasalahan di masyarakat.
Berikut merupakan bentuk fisik dari inovasi alat pemipil jagung yang penulis buat untuk membantu masyarakat di daerah tempat tinggalnya.
Gambar 1. Conthres
(Sumber : Dokumentasi pribadi)
Adapun cara menggunakan alat ini diantaranya sebagai berikut :
1. Letakkan wadah penampung biji jagung dibawah gigi pemipil jagung.
2. Berikan gaya kayuh pada pedal hingga roda-roda (gir) dapat berputar.
3. Masukkan jagung pada gigi pemipil (pegang jagung jangan sampai lepas).
4. Tahan jagung bergesekkan dengan gigi pemipil sampai biji jagung rontok.
5. Lakukan langkah-langkah diatas secara terus menerus hingga terkumpul jagung pipil sesuai yang diinginkan.
Dari percobaan yang telah penulis lakukan terhadap inovasi alat pemipil jagung ini untuk memipil jagung, penulis membandingkan efektivitas alat ini dengan berbagai cara lain yang bisa diterapkan untuk memipil jagung kemudian penulis memperoleh hasil dengan perbandingan sebagai berikut :
Tabel 1. Perbandingan efektivitas Conthres dengan metode memipil lainnya
Biaya produksi alat ini terbilang murah, sehingga masih bisa dijangkau oleh masyarakat. Berikut uraian lebih jelas terkait biaya produksi yang perlu dikeluarkan untuk membuat Conthres.
Tabel 2. Rincian biaya produksi Conthres
Rincian di atas merupakan biaya yang diperlukan untuk melakukan sekali produksi. Dalam sekali produksi dengan rincian biaya tersebut bisa menghasilkan 4 unit alat. Karena dalam sekali produksi memerlukan biaya Rp200.000 dan bisa menghasilkan 4 unit Conthres, maka biaya per-unit yang diperlukan dalam pembuatan Conthres yaitu sebesar Rp50.000.
Beberapa keunggulan Conthres diantaranya yaitu Conthres mudah digunakan, aman dan ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar, proses pemipilan jagung menjadi lebih cepat sehingga efisiensi waktu, lebih murah tidak semahal mesin pemipil di pasaran, tangan tidak sakit berbeda dengan ketika memipil dengan tangan secara langsung tanpa alat apapun, dan juga biji jagung tidak rusak berbeda dengan ketika menggunakan pisau maka ada kemungkinan biji jagung akan terbelah dan rusak. Penulis berharap dengan adanya Conthres atau alat pemipil jagung yang penulis buat ini, petani bisa menyelesaikan proses pemipilan jagung dengan lebih cepat, tangan tidak sakit, dan tanpa mengalami kelelahan yang berlebihan. Alat ini direkomendasikan untuk para petani jagung di desa yang masih minim teknologi. Sehingga dengan menggunakan Conthres, harapannya produktivitas dan upaya penyediaan jagung pipil sebagai bahan baku pakan ternak bisa terjamin, dan bisa membawa perubahan yang lebih baik lagi untuk masyarakat.
Kesimpulan
Jagung memiliki potensi yang sangat penting, salah satunya sebagai bahan baku pakan ternak. Kebutuhan jagung terus meningkat sejalan dengan kemajuan industri peternakan. Secara umum ini dinilai sebagai hal yang positif, namun untuk para petani jagung pipil hal ini akan menjadi masalah bila pemipilan jagung dilakukan secara tradisional. Seperti di daerah Kabupaten Dharmasraya, semua perlakuan pascapanen masih dilakukan secara manual. Pemipilan dengan cara ini akan membutuhkan banyak tenaga dan waktu. Alasan mengapa belum menerapkan teknologi atau mesin pemipil yaitu karena mahalnya harga mesin, dan juga karena masyarakatnya masih sangat minim pengetahuan teknologi, dan juga tidak ingin menimbulkan pencemaran lingkungan akibat polusi. Melihat permasalahan yang dialami masyarakat tersebut, penulis mencoba membuat inovasi alat bantu pertanian yang mudah dibuat dan tidak membutuhkan biaya besar. Alat ini menggunakan beberapa bahan yang sudah tidak terpakai lagi, mengubah barang-barang bekas yang berserakan di lingkungan menjadi suatu inovasi alat pemipil jagung yang ramah lingkungan yang diberi nama Conthres. Harapannya dengan adanya inovasi alat pemipil jagung ini dapat membantu masyarakat dalam proses pemipilan, supaya pemipilan menjadi lebih cepat dan lebih efisien sehingga dapat meningkatkan produktivitas jagung pipil di Indonesia.
0 Komentar